SALAH satu sunnatullah yang berlaku pada manusia adalah banyaknya isyarat dan tanda yang mengiringi suatu kejadian. Peristiwa gunung meletus bisa diketahui dari turunnya beragam binatang buas dari puncak-puncak gunung. Gempa bumi bisa ditandainya banyaknya katak yang berkumpul di suatu tempat yang tidak sewajarnya. Gelombang tsunami bisa dilihat dari surutnya air laut secara tiba-tiba dalam kadar yang fantastis. Banjir bandang atau bencana alam lainnya pun para ilmuan sudah bisa memprediksi kejadiannya dengan melihat tanda dan isyarat yang mengiringinya. Begitulah kebijakan dan kemahaadilan Allah Subhanahu Wata’ala atas makhluk-Nya.
Bila untuk peristiwa bencana yang lazim terjadi Allah memberikan tanda-tanda agar manusia punya kesempatan menyelamatkan dirinya, tentunya untuk kiamat yang teramat dahsyat peristiwanya lebih layak untuk diberikan tanda dan isyaratnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai Nabi terakhir sudah memberikan banyak isyarat dan tanda menjelang dekatnya akhir zaman dan datangnya kiamat besar. Riwayat-riwayat itu bercerita tentang fitnah, petaka, huru-hara, peperangan dan pembunuhan.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْقَائِمِ وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنْ السَّاعِي فَكَسِّرُوا قِسِيَّكُمْ وَقَطِّعُوا أَوْتَارَكُمْ وَاضْرِبُوا سُيُوفَكُمْ بِالْحِجَارَةِ فَإِنْ دُخِلَ يَعْنِي عَلَى أَحَدٍ مِنْكُمْ فَلْيَكُنْ كَخَيْرِ ابْنَيْ آدَمَ
“Sesungguhnya, menjelang terjadinya Kiamat ada fitnah-fitnah seperti sepotong malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, tetapi pada sore hari ia menjadi kafir, sebaliknya pada sore hari seseorang dalam keadaan beriman, namun dipagi hari ia dalam keadaan kafir. Orang yang duduk pada masa itu lebih baik daripada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berjalan cepat. Maka, patahkan busur kalian, putus-putuslah tali kalian, dan pukullah pedang kalian dengan batu, jika salah seorang dari kalian kedatangan fitnah-fitnah ini, hendaklah ia bersikap seperti anak terbaik di antara dua anak Adam (yakni bersikap seperti Habil, jangan seperti Qabil–pent).” [HR. Abu Dawud (4259), Ibnu Majah (3961) Al-Fitan, Ahmad (19231), dan Hakim]
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Ketahuilah, sesungguhnya fitnah itu dari sini, fitnah itu dari sini, dari arah terbitnya tanduk setan.” [HR. Bukhari (3279) Bad’ul-Khalqi, Muslim Al-Fitan wa Asyrathu’s-Sa’ah]
Secara bahasa fitnah bisa bermakna ujian, cobaan, bala’, bencana dan siksaan. Pada riwayat di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam memberikan peringatan kepada umatnya agar mewaspadai adanya fitnah yang bisa menggoncang keimanan mereka.
Penggambaran fitnah laksana potongan malam yang amat pekat itu menunjukkan betapa berat dan berbahayanya fitnah itu. Ini merupakan peringatan penting bagi setiap Muslim, bahwa banyaknya fitnah yang menyebabkan seseorang murtad merupakan tanda dekatnya akhir zaman.
Tentang fitnah yang bisa membuat kaum Muslimin terperosok pada kekufuran setelah keimanannya diperkuat dalam riwayat yang menjelaskan tentang kemunculan fitnah duhaima’. Riwayat tentang fitnah duhaima’ bercerita tentang masa-masa yang akan dihadapi oleh kaum Muslimin menjelang keluarnya Dajjal untuk menebar fitnah dan huru-hara.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Setelah itu akan terjadi fitnah Duhaima’, yang tidak membiarkan seorang pun dari umat ini kecuali akan ditamparnya dengan tamparan yang keras. Ketika orang-orang mengatakan, “Fitnah telah selesai”, ternyata fitnah itu masih saja terjadi. Di waktu pagi seseorang dalam keadaan beriman, namun di waktu sore ia telah menjadi orang kafir. Akhirnya manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan beriman yang tidak ada kemunafikan sedikit pun di antara mereka, dan golongan munafik yang tidak ada keimanan sedikit pun di antara mereka. Jika hal itu telah terjadi, maka tunggulah munculnya Dajjal pada hari itu atau keesokan harinya.” [HR. Abu Dawud no. 3704, Ahmad no. 5892, dan Al-Hakim no. 8574. Dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi]
Hadits di atas mengisyaratkan hakikat fitnah Duhaima’ akan meluas mengenai seluruh umat ini. Meskipun manusia menyatakan fitnah tersebut telah berhenti, ia akan terus berlangsung dan bahkan mencapai puncaknya.
Beliau menerangkan tentang efek yang ditimbulkan oleh fitnah ini, yaitu munculnya sekelompok manusia yang di waktu pagi masih memiliki iman, namun di sore hari telah menjadi kafir. Ini merupakan sebuah gambaran tentang kedahsyatan fitnah tersebut. Fitnah ini akan mencabut keimanan seseorang hanya dalam bilangan hari, dan ini juga merupakan sebuah gambaran betapa cepatnya kondisi seseorang itu berubah.
Tentang hakikat dari fitnah ini, ada dua gambaran yang paling mendekati bentuknya, yaitu fitnah demokrasi sekuler liberal dan fitnah perang global melawan terorisme. Kedua fenomena ini adalah wujud yang paling mendekati semua ciri yang termuat pada fitnah Duhaima’.
Kedua fitnah ini pula yang paling berpotensi menjadikan seorang masih beriman di pagi hari namun tanpa sadar menjadi kafir di sore hari.
Mengapa demikian?
Jika fitnah kegelapan Duhaima’ itu ada pada ideologi demokrasi sekuler, maka fenomena yang paling nyata pada fitnah ini adalah penolakan terhadap hukum Allah. Seorang yang masuk dalam perangkap fitnah ini bisa tervonis kafir lantaran menolak syari’at Allah dan menjadikan suara mayoritas yang menentang hukum Allah sebagai dasar hukum yang konstitutif.
Sedangkan pada kasus perang global atas terorisme maka mereka yang masuk dalam barisan musuh musuh Allah untuk memerangi kaum Muslimin bisa terancam vonis kafir. Sebab hakikat perang atas terorisme yang disuarakan oleh Amerika dan sekutunya adalah perang terhadap syari’at Islam dan penegakknya. Maka, siapapun yang bergabung dalam barisan musuh untuk memerangi kaum Muslimin, sungguh ia telah melakukan hal-hal yang membatalkan keislamannya.
Demikanlah dahsyatnya fitnah Duhaima’, fitnah akhir zaman yang membuat orang berbolak balik hatinya. Ekstrimnya, mereka yang terperangkap dalam fitnah ini pagi hari masih membaca Al-Qur’an di masjid, namun di sore hari sudah melakukan kebaktian di gereja. Di pagi hari masih menutup aurat dengan jilbabnya, namun di sore hari sudah berganti pakaian ala artis barat yang menyingkat auratnya.
Betapa cepatnya perubahan keimanan itu; pagi beriman sore kafir. Orang Jawa bilang; pagi dele sore tempe. Wallahu a’lam bish shawab.*
Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Dipublikasikan: Hidayatullah.com
Monday, December 28, 2015
Wednesday, December 23, 2015
Tujuan Memperingati Maulid agar Umat Islam Reborn To Sunnah, Trus Bakar Kembang Api?
Bismillahirrahmirrahim ...
Terlepas dari Pro dan Kontra terkait Hukum Syariah terkait Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya menghargai pendapat keduanya.
Tapi ada fenomena yang menurut saya sudah "keblinger" dimana orang-orang memperingati Maulidan dengan menyalakan Kembang Api dan juga Petasan. Kembang Api seolah menjadi tren terutama untuk peringatan di sekitar Jakarta dan sekitar, dan akan tetapi sudah mulai menyebar seperti ke daerah saya di Cianjur. Padahal tradisi seperti ini tidak pernah dilakukan setahu saya, semenjak saya kecil dan dewasa. Menyalakan Kembang Api terjadi beberapa waktu belakangan saja.
Padahal jika dilihat dari tujual awal pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah kurang lebih sebagai berikut:
Ada beberapa pendapat tentang siapa yg pertama kali mencetuskan peringatan kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad saw. Pendapat pertama adalah bahwa Shalahuddin Al Ayyubi yg pertama kali memulainya. Hal ini dikarenakan melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunnah-sunnah Rasullah saw. Di sisi lain, pada saat itu sedang terjadi Perang Salib. Dimana para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin.
Kemudian Shalahuddin Al Ayyubi ber-ijtihad mengadakan peringatan hari lahir Rasulullah saw dengan tujuan mengembalikan kondisi ruhiyah dan ghirah kaum muslimin saat itu serta menumbuhkan sunnah-sunnah yang mulai memudar dan juga semangat juang dalam berjihad menegakkan kalimatullah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al Muzhaffar (1229-1244), seorang sultan dari Dinasti Ayyubiyah. Menurut Ibnu Katsir, Sultan Al Muzhaffar adalah seorang pemberani, pahlawan, alim (berilmu) dan juga pemimpin yg adil.
Sama seperti halnya Shalahuddin Al Ayyubi, tujuan dasar dari dibuatnya perayaan maulid Nabi Muhammad saw oleh Sultan Al Muzhaffar adalah untuk mengembalikan kembali kondisi ruhiyah kaum muslimin yg pada saat itu terpaut jauh dari Rasulullah saw, para sahabat serta tabi'in sekitar 6 abad. Mengenalkan kembali sirah nabawiya. Mengenalkan kembali bagaimana akhlak Sang Baginda. Dan tentu saja, sunnah-sunnahnya.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya, Sultan Al Muzhaffar seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya. Sultan tentu saja mengundang bahkan mewajibkan rakyatnya untuk hadir. Menyimak dan mendengarkan paparan para ulama yg hadir mengenai kehidupan dan sunnah Baginda Rasulullah Muhammad saw seraya bershalawat kepadanya.
Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan rakyatnya yang akan hadir dalam perayaan maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al Muzhaffar tersebut. Dikarenakan tujuan dasarnya adalah mengembalikan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad saw dan dengan kecintaan kepada Rasul-Nya, umat Islam semakin bertaqwa kepada Allah swt dan menghidupkan sunnah-sunnahnya.
Dan kemudian, tradisi ini berlangsung hingga sekarang di berbagai belahan dunia. Sekali lagi, tradisi ini berlangsung di berbagai belahan dunia. Bukan hanya di Indonesia.
bagi yg merayakan Maulid Nabi, mari menengok kembali niat dan amal kita. Apakah terjerumus ke dalam hal yg berlebih-lebihan atau tidak? Apakah ada unsur kemusyrikan atau tidak? Adakah hal yg dilanggar secara syari'at atau tidak? Karena sejatinya, peringatan Maulid Nabi memang bukan sunnah dari Rasulullah saw dan para sahabatnya. Melainkan ijtihad yg baik. Kita kembalikan niat kita bahwa memperingati lahirnya Rasulullah Muhammad saw adalah untuk menggelorakan kembali kecintaan kita kepada Rasulullah saw dan berbagai sunnah-sunnahnya.
Artinya, jika Rabi'ul Awwal ini adalah sebuah momen awal, maka mestinya di bulan-bulan selanjutnya setelah Rabi'ul Awwal, kecintaan kita kepada Rasulullah saw, semangatnya kita untuk selalu menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnahnya, semangat kita untuk menghidupkan berbagai ibadah dan ketaatan kepad Allah swt, semangat kita dalam membela Islam dan kaum muslimin, mestinya semakin menggelora.
Bukankah kita, orang-orang yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bersaudara?
Jangan biarkan hati kita dipenuhi saling benci kepada sesama saudara dikarenakan kegemaran kita saling berdebat yg tiada gunanya (Azzam Mujahid Izzulhaq)
Jadi membakar petasan dan kemban Api tidak mempunyai urgensi apa-apa, karena prilaku tersebut tidak mengarahkan Umat Islam untuk lebih dekat dengan Syariat. Akan tetapi hanya prilaku sia-sia dan menyerupai kelakuan orang kafir (Tasyabuh). Terkait Hukum membakar Petasan dan Kembang Api, MUI DKI Jakarta sudah mengeluarkan fatwanya, yang bisa dilihat secara detail di Fatwa MUI Jakarta: Terkait Memasang Kembang Api dan Petasan
Dan berikut kutipan fatwanya:
Tapi ada fenomena yang menurut saya sudah "keblinger" dimana orang-orang memperingati Maulidan dengan menyalakan Kembang Api dan juga Petasan. Kembang Api seolah menjadi tren terutama untuk peringatan di sekitar Jakarta dan sekitar, dan akan tetapi sudah mulai menyebar seperti ke daerah saya di Cianjur. Padahal tradisi seperti ini tidak pernah dilakukan setahu saya, semenjak saya kecil dan dewasa. Menyalakan Kembang Api terjadi beberapa waktu belakangan saja.
Padahal jika dilihat dari tujual awal pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah kurang lebih sebagai berikut:
Ada beberapa pendapat tentang siapa yg pertama kali mencetuskan peringatan kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad saw. Pendapat pertama adalah bahwa Shalahuddin Al Ayyubi yg pertama kali memulainya. Hal ini dikarenakan melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunnah-sunnah Rasullah saw. Di sisi lain, pada saat itu sedang terjadi Perang Salib. Dimana para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin.
Kemudian Shalahuddin Al Ayyubi ber-ijtihad mengadakan peringatan hari lahir Rasulullah saw dengan tujuan mengembalikan kondisi ruhiyah dan ghirah kaum muslimin saat itu serta menumbuhkan sunnah-sunnah yang mulai memudar dan juga semangat juang dalam berjihad menegakkan kalimatullah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al Muzhaffar (1229-1244), seorang sultan dari Dinasti Ayyubiyah. Menurut Ibnu Katsir, Sultan Al Muzhaffar adalah seorang pemberani, pahlawan, alim (berilmu) dan juga pemimpin yg adil.
Sama seperti halnya Shalahuddin Al Ayyubi, tujuan dasar dari dibuatnya perayaan maulid Nabi Muhammad saw oleh Sultan Al Muzhaffar adalah untuk mengembalikan kembali kondisi ruhiyah kaum muslimin yg pada saat itu terpaut jauh dari Rasulullah saw, para sahabat serta tabi'in sekitar 6 abad. Mengenalkan kembali sirah nabawiya. Mengenalkan kembali bagaimana akhlak Sang Baginda. Dan tentu saja, sunnah-sunnahnya.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya, Sultan Al Muzhaffar seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya. Sultan tentu saja mengundang bahkan mewajibkan rakyatnya untuk hadir. Menyimak dan mendengarkan paparan para ulama yg hadir mengenai kehidupan dan sunnah Baginda Rasulullah Muhammad saw seraya bershalawat kepadanya.
Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan rakyatnya yang akan hadir dalam perayaan maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al Muzhaffar tersebut. Dikarenakan tujuan dasarnya adalah mengembalikan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad saw dan dengan kecintaan kepada Rasul-Nya, umat Islam semakin bertaqwa kepada Allah swt dan menghidupkan sunnah-sunnahnya.
Dan kemudian, tradisi ini berlangsung hingga sekarang di berbagai belahan dunia. Sekali lagi, tradisi ini berlangsung di berbagai belahan dunia. Bukan hanya di Indonesia.
bagi yg merayakan Maulid Nabi, mari menengok kembali niat dan amal kita. Apakah terjerumus ke dalam hal yg berlebih-lebihan atau tidak? Apakah ada unsur kemusyrikan atau tidak? Adakah hal yg dilanggar secara syari'at atau tidak? Karena sejatinya, peringatan Maulid Nabi memang bukan sunnah dari Rasulullah saw dan para sahabatnya. Melainkan ijtihad yg baik. Kita kembalikan niat kita bahwa memperingati lahirnya Rasulullah Muhammad saw adalah untuk menggelorakan kembali kecintaan kita kepada Rasulullah saw dan berbagai sunnah-sunnahnya.
Artinya, jika Rabi'ul Awwal ini adalah sebuah momen awal, maka mestinya di bulan-bulan selanjutnya setelah Rabi'ul Awwal, kecintaan kita kepada Rasulullah saw, semangatnya kita untuk selalu menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnahnya, semangat kita untuk menghidupkan berbagai ibadah dan ketaatan kepad Allah swt, semangat kita dalam membela Islam dan kaum muslimin, mestinya semakin menggelora.
Bukankah kita, orang-orang yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bersaudara?
Jangan biarkan hati kita dipenuhi saling benci kepada sesama saudara dikarenakan kegemaran kita saling berdebat yg tiada gunanya (Azzam Mujahid Izzulhaq)
Jadi membakar petasan dan kemban Api tidak mempunyai urgensi apa-apa, karena prilaku tersebut tidak mengarahkan Umat Islam untuk lebih dekat dengan Syariat. Akan tetapi hanya prilaku sia-sia dan menyerupai kelakuan orang kafir (Tasyabuh). Terkait Hukum membakar Petasan dan Kembang Api, MUI DKI Jakarta sudah mengeluarkan fatwanya, yang bisa dilihat secara detail di Fatwa MUI Jakarta: Terkait Memasang Kembang Api dan Petasan
Dan berikut kutipan fatwanya:
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan
memohon ridha-Nya, sesudah mengkaji permasalahan tersebut dari
al-Qur’an, Sunnah dan pendapat (qaul) yang mu’tabar,
menyempurnakan dan menetapkan fatwa tentang Hukum Petasan dan Kembang
Api (Fatwa MUI No. 31 Tahun 2000, penyempurnaan fatwa tanggal 24
Ramadhan 1395/30 Sep.1975), sebagai berikut:
1. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Walimah
(Resepsi), seperti yang dilakukan oleh umat Islam khususnya warga DKI
Jakarta, atau menjadi bagian dalam ritual ziarah di TPU Dobo, adalah
suatu tradisi atau kebiasaan buruk yang sama sekali tidak terdapat dalam
ajaran Islam, bahkan merupakan suatu perbuatan haram yang sangat
bertentangan dan dilarang ajaran Islam. Hal ini disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Tradisi membakar, menyalakan atau
membunyikan petasan dan kembang api adalah bersumber dari kepercayaan
umat di luar Islam untuk mengusir setan yang dianggap mengganggu mereka.
Hal ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bertentangan dengan
Aqidah Islam. Padahal Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari
kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam, karena hai itu
dinilai sebagai langkah setan dalam menjerumuskan umat manusia,
sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Nur Ayat 21
Fatwa MUI Jakarta: Terkait Memasang Kembang Api dan Petasan
Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Provinsi DKI Jakarta dalam rapatnya pada tanggal 13 Ramadhan 1431
H. bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2010 M, yang membahas tentang
Hukum Petasan dan Kembang Api* yang dibakar dan dinyalakan di TPU Dobo
di Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta Utara, berdasarkan rekomendasi Palang
Merah Indonesia (PMI), setelah:
Menimbang:
1. Hasil penelitian Tim Pengkaji MUI DKI Jakarta2. Hasil penelitian sejarah dan sosial budaya terhadap persepsi dan perilaku publik berkaitan dangan makam eks TPU Dobo
3. Hasil Kajian Tim Syari’ah dan Komisi Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta
Mengingat:
1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)
2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 – 2015
3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 – 2015
3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
1. Rekomendasi Palang Merah Indonesia (PMI)
2. Saran dan pendapat para peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 13 Ramadhan 1431 H. bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2010 M, tentang Hukum Petasan dan Kembang Api
2. Saran dan pendapat para peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 13 Ramadhan 1431 H. bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2010 M, tentang Hukum Petasan dan Kembang Api
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan
memohon ridha-Nya, sesudah mengkaji permasalahan tersebut dari
al-Qur’an, Sunnah dan pendapat (qaul) yang mu’tabar,
menyempurnakan dan menetapkan fatwa tentang Hukum Petasan dan Kembang
Api (Fatwa MUI No. 31 Tahun 2000, penyempurnaan fatwa tanggal 24
Ramadhan 1395/30 Sep.1975), sebagai berikut:
1. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Walimah (Resepsi), seperti yang dilakukan oleh umat Islam khususnya warga DKI Jakarta, atau menjadi bagian dalam ritual ziarah di TPU Dobo, adalah suatu tradisi atau kebiasaan buruk yang sama sekali tidak terdapat dalam ajaran Islam, bahkan merupakan suatu perbuatan haram yang sangat bertentangan dan dilarang ajaran Islam. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Tradisi membakar, menyalakan atau
membunyikan petasan dan kembang api adalah bersumber dari kepercayaan
umat di luar Islam untuk mengusir setan yang dianggap mengganggu mereka.
Hal ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bertentangan dengan
Aqidah Islam. Padahal Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari
kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam, karena hai itu
dinilai sebagai langkah setan dalam menjerumuskan umat manusia,
sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Nur [24]:21:
بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. [QS. An-Nur[24]:21.]
b. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api merupakan pemborosan (tabdzir) terhadap harta benda yang diharamkan Allah, sebagaimana difirmankan dalam surat al-Isra’ [17]: 27:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS. Al-Isra’ [17]: 27]
c. Membakar, menyalakan atau membunyikan
petasan dan kembang api sangat membahayakan jiwa, kesehatan, dan harta
benda (rumah, pabrik, dan lain-lain). Padahal agama Islam melarang
manusia melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun
orang lain. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah, 195:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا
تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]:195.)
Demikian juga sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut:
لَا ضَرَرَ وَ لَا ضِرَارَ
“(Kamu) tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu sendiri dan juga tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain”.
d. Membakar, menyalakan atau membunyikan
petasan dan kembang api bahayanya (mudharat) lebih besar dari pada
manfaatnya (kalau ada manfaatnya). Padahal di antara ciri-ciri orang
muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat. Sebagaimana didasarkan pada makna umum ayat Al-Qur’an
sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang
lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berpikir.”
Dan hadits Rasulullah SAW:
مِنْ حُسْنِ الإِسْلَامِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ (رواه مالك
“Di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat”.
2. Sehubungan dengan haramnya membakar
atau menyalakan petasan dan kembang api, maka haram pula memproduksi,
mengedarkan dan memperjualbelikannya. Hal ini didasarkan pada Kaidah
Ushul Fiqh:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ المـَقَاصِدِ
“Sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya mengikuti sesuatu yang menjadi tujuan.”
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
Ketua, Sekretaris,
ttd ttd
KH. Syariffudin A. Ghani, MA Dr. H. Fuad Thohari, MA
Mengetahui,
Ketua Umum, Sekretaris Umum,
ttd ttd
KH. Munzir Tamam, MA Dr. H. Samsul Ma’arif, MA
*Fatwa ini adalah penyempurnaan atas
Seruan MUIDKI Jakarta kepada Umat Islam Ibu Kota Sekitar Pemasangan
Petasan, tanggal 24 Ramadhan 1395 H/30 September 1975 M dan Fatwa MUI
DKI Jakarta tanggal 29 Rabi’ul Akhir H. bertepatan dengan tanggal 31
Juli 2000 M yang ditandatangani oleh Prof. KH. Irfan Zidny, MA dan KH.
M. Hamdan Rasyid, MA .
Sumber: muidkijakarta.or.id
Sumber: muidkijakarta.or.id
Tuesday, December 22, 2015
10 Tanda Datangnya Hari Kiamat
1. Keluarnya Dajjal
Dajjal adalah seorang laki-laki dari anak cucu Adam ‘Alaihis Salam. Muncul di akhir zaman dan mengaku memiliki sifat rububiyah. Keluar dari Timur dari Khurasan. Kemudian ia berjalan di muka bumi, maka ia tidak meninggalkan satu negeri kecuali ia memasukinya, kecuali Masjidil Aqsha, Tursina, Makkah dan Madinah, ia tidak bisa memasukinya; karena malaikat menjaganya. Turun di danau asin, maka kota Madinah bergetar tiga kali, keluar darinya setiap orang kafir dan munafik.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Kami sedang duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau menyebutkan fitnah, beliau banyak menyebutnya sehingga menyebutkan fitnah ahlaas. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah fitnah ahlaas itu?’ Beliau menjawab, ‘Ia adalah lari dan perang.’ Kemudian fitnah as-saraa, asapnya dari bawah dua kaki seorang laki-laki dari ahli baitku. Dia mengaku bahwa dia dariku dan dia bukanlah dariku, sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasihku) adalah orang-orang yang bertaqwa. Kemudian manusia berdamai di atas seorang laki-laki seperti pinggul di atas tulang rusuk. Kemudian fitnah Duhaima yang tidak membiarkan seseorang dari umat ini kecuali menamparnya satu tamparan. Apabila dikatakan: berakhir fitnah tersebut malah semakin panjang. Jadilah pada saat seseorang pagi hari beriman dan sore hari menjadi kafir sehingga jadilah manusia ke kemah-kemah, kemah iman yang tidak ada kemunafikan padanya dan kemah nifak yang tidak ada iman padanya. Apabila sudah seperti itu, maka tunggulah Dajjal dari harinya atau besoknya.’ (Shahih. HR. Ahmad no. 6168. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 974 dan Abu Daud no 4242 dan ini adalah lafazhnya, Shahih Sunan Abi Daud no. 3568)
Fitnah Dajjal
Keluarnya Dajjal adalah fitnah besar disebabkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan bersamanya berupa perkara-perkara di luar kebiasan yang besar, yang membingungkan akal. Disebutkan dalam hadits shahih bahwa bersamanya ada surga dan neraka. Nerakanya adalah surga dan surganya adalah neraka. Dan sesungguhnya bersamanya ada gunung roti, sungai air. Dia menyuruh langit (untuk menurunkan hujan) maka turunlah hujan. Menyuruh bumi (untuk menumbuhkan tumbuhan) maka tumbuhlah tumbuhan. Perbendaharan bumi mengikutinya. Melewati bumi dengan kecepatan besar seperti hujan bila dibawa angin.
Dia menetap di bumi selama empat puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti satu bulan, satu hari seperti satu Jum’at, dan semua harinya seperti hari-hari kita. Kemudian dia dibunuh oleh Isa bin Maryam ‘Alaihis Salam di sisi pintu ludd di Palestina.
Sifat Dajjal
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan kita dari mengikuti Dajjal atau membenarkannya. Beliau menjelaskan kepada kita sifat-sifatnya agar kita berhati-hati darinya. Menjelaskan bahwa ia seorang laki-laki, muda, berkulit merah, buta sebelah matanya, tidak mempunyai anak, tertulis di antara kedua matanya ‘kafir’ yang bisa dibaca setiap muslim.
Dari ‘Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Dajjal adalah seorang laki-laki pendek, berkaki bengkok, keriting, buta sebelah mata, terhapus mata, tidak menonjol dan tidak bermata cekung. Jika disamarkan kepadamu, maka ketahuilah bahwa Rabb kamu Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah matanya.’ (Shahih. HR. Ahmad no. 23144 dan ini lafadznya. Abu Daud no 4320, Shahih Sunan Abu Daud no.3630)
Tempat keluarnya Dajjal
Dari an-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan Dajjal dan padanya…: ‘Sesungguhnya ia keluar celah-celah di antara Syam dan Iraq. Berbuat kerusakan di kanan dan di kiri.’ (HR. Muslim no 2937.)
Tempat-tempat yang tidak bisa di masuki Dajjal
- Dari Anas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada satu kota melainkan akan diinjak oleh Dajjal kecuali Makkah dan Madinah.’ (Muttafaq ‘alaihi. HR. Al Bukhari no. 1881, dan Muslim no. 2942)
- Dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan Dajjal dan tentangnya ia berkata:… dan ia tidak bisa mendekati empat masjid: Masjidil Haram, masjid Madinah, Masjid ath-Thuur, dan Masjidil Aqsha.’ (Shahih, HR. Ahmad no/ 24085. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 2934)
Kebanyakan pengikut Dajjal adalah kaum Yahudi, Ajam (bangsa selain arab), Turki, dan berbagai manusia, kebanyakannya dari bangsa Arab badui dan wanita.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Yang mengikuti Dajjal dari Yahudi Asfahan sebanyak 70.000 orang, mereka memakai jubah hijau (yang biasa dipakai ulama Persia).’ (HR. Muslim no. 2944.)
Menjaga dari fitnah Dajjal
Hal itu dengan cara beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlindung dari fitnah Dajjal di dalam shalat secara khusus dan berlari darinya: “Barang siapa yang hapal sepuluh ayat dari permulaan surah Kahfi niscaya ia dipelihara dari Dajjal.” Dan dalam satu lafazh: ‘Barang siapa yang menemuinya dari kamu, maka hendaklah ia menbaca pembuka surah Al Kahfi.” (HR. Muslim no. 8009 dan no. 2937)
2. Turunnya Isa bin Maryam
Setelah Dajjal keluar dan berbuat kerusakan di muka bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Isa bin Maryam ‘Alaihis Salam. Beliau turun ke bumi di sisi menara putih sebelah Timur Damaskus, meletakkan kedua telapak tangannya di atas sayap dua orang malaikat, lalu ia membunuh Dajjal, berhukum dengan hukum Islam, mematahkan salib, membunuh babi, meletakkan pajak, harta melimpah ruah dan hilangnya permusuhan. Dia menetap selama tujuh tahun dan tidak ada permusuhan di antara manusia. Kemudian ia meninggal dunia dan kaum muslimin menshalatkannya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim angin dingin yang baik dari arah Syam (Siria) maka tidak tersisa lagi seseorang di atas muka bumi yang di hatinya masih ada sedikit kebaikan atau iman melainkan ia mematikannya. Dan tersisalah manusia-manusia yang jahat secepat burung (dalam melampiaskan syahwat dan kejahatannya) dan watak binatang buas (dalam kezaliman dan permusuhan). Melakukan persetubuhan sebagaimana yang dilakukan keledai. Kemudian syetan memerintahkan mereka menyembah berhala, dan atas mereka terjadi hari kiamat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diriku berada di Tangan-Nya, sudah dekat bahwa turun padamu Ibnu Maryam ‘Alaihis Salam sebagai pemimpin yang adil. Ia mematahkan salib, membunuh babi, meletakkan pajak, harta melimpah sehingga tidak ada seseorang yang menerimanya, sehingga satu kali sujud lebih baik dari dunia dan apa yang ada di dalamnya.”
Kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata: Bacalah jika kamu menghendaki:
Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. An-Nisaa`:159) (Muttafaq ‘alaihi. HR. Al Bukhari 3448 dan ini adalah lafazhnya dan Muslim no. 155.)
3. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj
Ya’juj dan Ma’juj adalah dua umat yang besar dari keturunan Adam ‘Alaihis Salam. Mereka adalah laki-laki yang kuat, tidak ada seorang pun yang mampu melawan mereka. Keluarnya mereka termasuk salah satu tanda hari kiamat yang besar. Mereka berbuat kerusakan di muka bumi, kemudian Isa ‘Alaihis Salam dan para sahabatnya berdoa untuk kebinasaan mereka, maka mereka semuanya mati.
Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (QS. Al Anbiyaa`:96)
Dari an-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan tentang Dajjal dan bahwa sesungguhnya Isa ‘Alaihis Salam membunuhnya di pintu Ludd… -dan di dalamnya-: ‘Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Isa ‘Alaihis Salam: ‘sesungguhnya aku telah mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak ada seseorang pun yang bisa melawan mereka. Maka jagalah hamba-hamba-Ku ke (Gunung) Thur.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan Ya’juj dan Ma’juj dan mereka turun dengan cepat dari setiap tempat yang tinggi. Yang terdepan dari mereka melewati danau Thabariyah, lalu minum semua yang ada padanya. Dan lewat yang akhir dari mereka, mereka berkata,’Sungguh di tempat ini pernah ada air.’ Nabi Isa ‘Alaihis Salam dan para sahabatnya dikepung sehingga kepala sapi lebih baik bagi salah seorang dari mereka dari seratus dinar bagi salah seorang dari kalian pada hari ini (karena sangat kelaparan-pent). Maka Nabi Isa ‘Alaihis Salam dan para sahabatnya berdoa. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus ulat di leher mereka, lalu mereka semua terbunuh seperti matinya satu jiwa. Kemudian turunlah Nabi Isa ‘Alaihis Salam dan para sahabatnya ke bumi….” (HR. Muslim no. 2937)
Setelah turunnya Isa dan para sahabatnya ke bumi, beliau ‘Alaihis Salam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim burung-burung yang membawa Ya’juj dan Ma’juj dan melemparkan mereka di tempat yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan hujan untuk membersihkan bumi. Kemudian turunlah berkah di muka bumi, nampaklah sayuran dan buah-buahan, dan terasa berkah pada tumbuhan dan hewan.
4,5,6 Tiga Peristiwa Terbenamnya Tanah (Longsor)
Tiga peristiwa longsor besar termasuk tanda-tanda hari kiamat yang besar, yaitu longsor di Timur, longsor di Barat, dan longsor di Semenanjung Arab. Ini belum terjadi.
7. Kabut Asap
Munculnya kabut di akhir zaman termasuk tanda-tanda hari kiamat yang besar.
Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. Yang meliputi manusia.Inilah azab yang pedih, (QS. Ad-Dukhaan:10-11)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, ‘Bersegeralah beramal shalih (sebelum) enam perkara: terbitnya matahari dari tempat tenggelamnya (sebelah Barat)atau kabut atau Dajal atau binatang atau kematian atau hari kiamat.” (HR. Muslim no. 2947)
8. Terbitnya Matahari Dari Sebelah Barat
Terbitnya matahari dari sebelah Barat termasuk salah satu tanda hari kiamat yang besar. Ia adalah tanda besar pertama yang memberitahukan perubahan kondisi alam atas. Di antara dalil-dalil keluarnya adalah sebagai berikut:
Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfa’at lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. …”. (QS. Al An’aam:158)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak terjadi hari kiamat sehingga terbit matahari dari sebelah Barat. Apabila matahari telah terbit dari sebelah Barat semua manusia beriman, maka pada hari itu: “tidaklah bermanfa’at lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (QS. Al An’aam:158). (Muttafaq ‘alaihi. HR. Al Bukhari no. 4635 dan Muslim no. 157 dan ini adalah lafazhnya.)
Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya pertama-tama tanda hari kiamat yang keluar adalah terbitnya matahari dari sebelah Barat dan keluarnya binatang kepada manusia pada waktu dhuha. Apapun juga dari keduanya yang lebih dulu dari yang lain, maka yang lain itu akan menyusul dalam waktu dekat.” (HR. Muslim no.2942)
9. Keluarnya Binatang Melata
Keluarnya binatang melata di akhir zaman sebagai tanda sudah dekatnya hari kiamat. Ia keluar, lalu memberi tanda kepada manusia di atas hidung mereka. Mengekang hidung orang kafir dan menerangi wajah orang yang beriman. Di antara dalil-dalil keluarnya adalah:
Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami. (QS. An-Naml:82)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apabila telah keluar tiga perkara niscaya tidaklah bermanfa’at lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya: terbitnya matahari dari sebelah Barat, Dajjal, dan binatang melata dari bumi.” (HR. Muslim no. 158)
10. Keluarnya Api Yang Menggiring Manusia
Itu adalah api besar dari Timur, dari Yaman, dari dasar Adan. Ia adalah akhir tanda-tanda hari kiamat yang besar dan tanda pertama yang mengabarkan terjadinya hari kiamat. Ia keluar dari Yaman, kemudian tersebar di bumi dan menggiring manusia ke bumi mahsyar di Syam.
Tata cara api menggiring manusia
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, ‘Manusia digiring menurut tiga cara: senang, takut, dua di atas unta, tiga di atas unta, empat di atas unta, sepuluh di atas unta. Api yang menggiring selain mereka. Api tersebut tidur qailulah (di pagi hari) bersama mereka di tempat mereka tidur dan bermalam bersama mereka di tempat mereka bermalam. Berpagi-pagi bersama mereka di tempat mereka berpagi-pagi, dan bersore-sore bersama mereka di tempat mereka bersore-sore.” (Muttafaq ‘alaihi. HR. Al Bukhari no. 6522 dan ini adalah lafazhnya dan Muslim no. 2861)
Awal Tanda Hari Kiamat
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh, sesungguhnya Abdullah bin Salam Radhiyallahu ‘Anh tatkala masuk Islam, ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang beberapa masalah. Di antaranya: apakah pertama-tama tanda hari kiamat? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Adapun pertama-tama tanda hari kiamat adalah adanya api yang menggiring manusia dari Timur ke Barat.“( HR. Al Bukhari no. 3329)
Tanda-tanda yang terus menerus dan perubahan keadaan
- Apabila telah nampak salah satu tanda hari kiamat yang besar, niscaya tanda-tanda yang lain mengikutinya, sebagian mengikuti yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tanda-tanda (hari kiamat itu bagaikan) manik-manik yang disusun dengan benang (kawat, tali). Apabila benang itu terputus, niscaya sebagiannya mengikuti yang lain.” (Shahih. HR. Al Hakim no. 8639. lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 1762)
- Dari Anas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak terjadi hari kiamat sehingga tidak dikatakan lagi di muka bumi ‘Allah, Allah.’ (HR. Muslim no. 148)
- Dari Huzaifah bin Al Yaman Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,’Tidak terjadi hari kiamat sehingga orang paling bahagia di dunia adalah Luka’ bin Luka‘ (hamba yang bodoh anak hamba yang bodoh). (Shahih. HR. at-Tirmidzi no 2209, Shahih Sunan Tirmidzi no. 1799)
Friday, December 18, 2015
Insah Dakwah Namun Malas Menuntut Ilmu
Sebuah tulisan yang sangat menohok saya, yang notabene sering share Tulisan (kebanyakan Copy dan Paste). Baik terkait masalah Agama atau lainnya :). Dimana Ustadz Musdar Bustamam Tambusai (Praktisi Rukyah dan Thibun Nabawi) mengingatkan saya sebagai Muslim untuk tidak jemu menuntut Ilmu. Yang mana sering kali kita beranggapan bahwa hadir di Majelis Ilmu dengan isi materi yang gitu-gitu saja dan kita pernah mendengar sebelumnya, sehingga membuat saya enggan menghadirinya. Padahal Perkara Agama adalah sesuatu yang dilakukan seumur hidup dari kita lahir sampai masuk liang Kubur. Jadi untuk konsisten melakukan semua perkara Agama kita harus juga konsisten menuntut Ilmu. Yang padahal kalau kita bandingkan lagi waktu menuntut Ilmu dengan aktivitas hidup kita yang kaitannya semisal hobby, porsinya jauh banget.
Intinya kewajiban kita menuntut Ilmu seperti yang disampaikan Rasulullah SAW:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ
" Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim" (H.R. Ibnu Majah)
Berikut Tulisan beliau:
Hari ini, ada orang yg sebagai insan dakwah tapi ingin senang dalam perjuangannya ...
Hari ini, ada orang yg mengteaku sebagai insan dakwah tapi ingin senang dalam perjuangannya... Memancing ....
***
Main bola atau futsal ...
Main sepeda gunung ...
Mendaki gunung ...
Manjat tebing ...
dan sebagainya, berjam-jam, berhari-hari ...
Luar biasa tahan dan senang hat i...
Tapi mendengar pengajian ...
Menghadiri ta'lim ...
Membaca buku ...
dan kegiatan menambah ilmu lainnya, hanya hitungan jam, bahkan menit..
Luar biasa malas dan susah hati ...
Dia mengaku aktivis dakwah, apa sih yg didakwahkan ?
Ilmunya dari zaman nol sampai sekarang tidak pernah di update...
Bacaan al-Qur'annya dari zaman nol sampai saat ini masih sama saja...
Diajak belajar, dia bilang kajiannya itu-itu saja...
Diajak mengaji, dia bilang bab-nya hanya thaharah saja...
Hanya kesombongan yg membuat seseorang jauh dari limpahan ilmu !!!
Dia selalu bahagia dengan kebodohan karena dirinya merasa sudah pandai!
Intinya kewajiban kita menuntut Ilmu seperti yang disampaikan Rasulullah SAW:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ
" Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim" (H.R. Ibnu Majah)
Berikut Tulisan beliau:
Hari ini, ada orang yg sebagai insan dakwah tapi ingin senang dalam perjuangannya ...
Hari ini, ada orang yg mengteaku sebagai insan dakwah tapi ingin senang dalam perjuangannya... Memancing ....
***
Main bola atau futsal ...
Main sepeda gunung ...
Mendaki gunung ...
Manjat tebing ...
dan sebagainya, berjam-jam, berhari-hari ...
Luar biasa tahan dan senang hat i...
Tapi mendengar pengajian ...
Menghadiri ta'lim ...
Membaca buku ...
dan kegiatan menambah ilmu lainnya, hanya hitungan jam, bahkan menit..
Luar biasa malas dan susah hati ...
Dia mengaku aktivis dakwah, apa sih yg didakwahkan ?
Ilmunya dari zaman nol sampai sekarang tidak pernah di update...
Bacaan al-Qur'annya dari zaman nol sampai saat ini masih sama saja...
Diajak belajar, dia bilang kajiannya itu-itu saja...
Diajak mengaji, dia bilang bab-nya hanya thaharah saja...
Hanya kesombongan yg membuat seseorang jauh dari limpahan ilmu !!!
Dia selalu bahagia dengan kebodohan karena dirinya merasa sudah pandai!
Tuesday, December 15, 2015
Dilema Melihat Jamaah Mesjid Berselisih Paham Terkait Perkara Cabang dalam Hal Agama
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarahatuh
Kemarin baca artikel dari Hidayatullah.com yang berjudul: Salah Menyikapi yang Furu’ Penyebab Rusaknya Persatuan dengan isi sebagai berikut:
Kemarin baca artikel dari Hidayatullah.com yang berjudul: Salah Menyikapi yang Furu’ Penyebab Rusaknya Persatuan dengan isi sebagai berikut:
Persatuan antar kelompok Islam khususnya di Indonesia dinilai masih
sulit tercapai manakala dalam realitanya masih banyak umat Islam yang
menjadikan hal yang Furu’ dalam agama sebagai prinsip persatuan.
Demikian disampaikan Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, Pengurus Ikatan
Da’i Indonesia (IKADI) Jawa Timur, pada Muhadloroh Ilmiah dengan tema
“Pererat Ukhuwah Perkokoh Akidah Umah” di Masjid Manarul Ilmi Kampus ITS
Surabaya, Ahad, (13/12/2015).
“Masih banyak yang menjadikan perbedaan furu’ sebagai prinsip persatuan, sehingga yang ushul justru terabaikan,” jelasnya.
Bahkan, menurut Mudzoffar, banyak muslim di Indonesia dalam
menentukan siapa yang termasuk saudaranya hanya melihat dari hal praktek
ibadahnya saja.
“Kalau sholatnya beda berarti bukan saudara, padahal masing-masing
punya hujjah. Sibuk menilai perbedaan furu’ orang lain, tapi lupa sama
yang tidak sholat,” katanya.
Padahal, terang Mudzoffar, para ulama dahulu dalam berukhuwah
madzhabnya tidak hanya empat, zaman itu madzhab yang ada sebanyak jumlah
ulama pada saat itu.
“Kita sekarang tinggal empat, itupun ributnya luar biasa,” ungkap Anggota Dewan Syariah Griya Al-Qur’an ini.
Mudzoffar mencontohkan bagaimana perbedaan madzhab bukanlah suatu
perbedaan yang mengundang konflik dan merusak ukhuwah sesama muslim. Ia
menceritakan, pada saat Imam Syafi’i tinggal di Baghdad. Suatu ketika
Imam Syafi’i dipersilahkan oleh jamah madzhab Hanafi untuk menjadi imam
sholat di masjid Abu Hanifa, dan waktu itu, lanjut Mudzoffar, jamaah
madzhab Hanafi sudah bersiap untuk ikut qunut. Namun ternyata Imam
Syafi’i justru tidak menggunakan qunut, dengan alasan untuk menghormati
Abu Hanifa.
“Imam Syafi’i menjawab, ‘apakah patut saya sholat di masjid abu
hanifa, lantas saya menyalahi madzhab ini’. Padahal dalam madzhab
Syafi’i qunut hukumnya sunnah mua’kadah yang kalau ditinggalkakn diganti dengan sujud syahwi,” jelasnya.
Untuk itu, kata Mudzoffar, ada dua hal yang harus dipahami oleh umat
Islam. Yakni sepakat dan bersatu dalam hal prinsip (ushul), serta
kesepahaman dan toleransi dalam masalah furu’.
“Toleransi di sini tidak sekedar menghargai, menghormati, atau
mempersilahkan saudara kita yang berbeda untuk melaksanakan sesuai
dengan madzhab yang dianut. Tapi juga sampai pada tingkat kompromi,
sampai pada tingkat siap melaksanakan pendapat yang tidak disetujui
dalam hal furu’,” pungkasnya.*
Berdasarkan tulisan diatas, jujur apa yang saya temukan di sekitar Masyarakat terkait gambaran Ukhuwah Islamiyah sangat ditentukan
oleh cara seseorang beribadah terutama Sholat dan Dzikir. Ketika sama
cara ibadahnya maka akan ada "Sense" yang lebih ketimbang dengan Saudara
Muslim yang berbeda. Contoh paling nyata dan parah adalah jika ketahuan
Imam Mesjid pake Qunut atau gak oleh Jamaah yang tidak satu "Visi" maka
mereka tidak mau berjamaah dan atau dari cara dzikir-nya yang berbeda
... sudah pasti ada aura yang berbeda. Belum ditambah masalahan Tahlilan
Kematian ... tapi sekarang variabelnya bertambah banyak karena yang
satu "Manhaj" pun bisa ada "Gap" ... dan penyebabnya banyak sekali.
Aahhh .... sepertinya Kompleks banget penyebab permasalahan Umat ini
agar bisa bersatu dan akur.
Ini
adalah realita permasalahan Umat Islam, khususnya di Indonesia. Padahal
Umat Islam saat ini tengah mengalami gangguan yang bertubi-tubi dan
dikeroyok oleh berbagai Pihak (Baca Tulisan Ustadz Adian Husaini: Ramai-Ramai Mengeroyok Umat Islam)
harusnya kita mengedepankan Ukhuwah Islamiyah diatas permasalahan
perbedaan perkara cabang dalam Agama. Tetapi kita juga harus memahami
bahwa Ukhuwah Islamiyah pun bisa tegak berdiri tegak jika Parameter-nya
sama (Seperti Rukun dan Islam-nya sama karena kalau beda berarti Beda
Aqidah)
Saya
secara pribadi pun di kehidupan nyata menghadapi permasalahan Jamaah
yang berbeda pandangan terkait tata cara beribadah di dalam Mesjid dan
adanya "Gap" yang terjadi karena adanya Miss Komunikasi Pengurus terkait
pengelolaan Mesjid (yang walaupun mereka satu "Manhaj") mencoba berdiri
di tengah dan akur kepada semuanya. Karena hal ini sangat sensitif jika
ikut campur terkait "Perang Dingin" di antara mereka ... apalagi mereka
adalah Senior saya, terutama dari Umur (rata-rata diatas 10 Tahun
keatas).
Tapi
permasalahan ini bukannya tanpa solusi, karena Islam dilahirkan di Muka
Bumi ini sebagai solusi. Tapi kira-kira apa yah solusi yang jitu
terkait permasalahan ini, mungkin anda bisa memberi solusi?
Friday, December 11, 2015
Mengenang KH. A.F. Ghazali: Mubaligh Kharismatik Sunda
Menuliskan Tradisi Lisan Sunda
K.H. A.F. Ghazali sepertinya bukan nama yang asing bagi masyarakat Muslim Sunda, terutama kalangan pesantren dan masyarakat di desa-desa di tanah Pasundan ini. Namanya adalah jaminan untuk urusan ceramah (dakwah billisan). Pada setiap kesempatan ceramahnya, ia memilih bahasa Sunda sebagai medium menyampaikan pesan-pesan agama kepada audiensnya. Pilihan tersebut disadari betul dalam konteks dirinya sebagai manusia Sunda yang dibesarkan dalam rahim kebudayaan Sunda. Dan, bukankah para nabi juga menggunakan bahasa lokal atau ujaran kaumnya (billhughati qaumihim) dalam menyampaikan risalah kepada umatnya.
Strategi tersebut boleh jadi menginspirasi Ghazali untuk memilih bahasa Sunda sebagai pengantar dalam dakwahnya. Hasilnya, ceramah-ceramah yang disampaikan Ghazali tidak hanya menjadi tontonan di panggung dan momen pengajian, tetapi juga menjadi tuntunan yang menelisik lubuk terdalam kesadaraan para jemaahnya.
Tidak semua da’i memiliki keahlian berceramah yang memikat seperti Ghazali. Maka, dalam konteks tersebut, ceramah menjadi skill dan seni tersendiri yang tidak hanya bernilai profan (duniawi), tetapi juga berdimensi sakral (suci) bagi umat Islam. Ceramah, dalam konteks ajaran Islam tidak lain merupakan perwujudan titah Tuhan untuk amar makruf nahi mungkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Akan tetapi, untuk ibadah seperti itu, tidak semua orang Muslim mampu menjalankannya dengan halus, santun, bahkan jenaka seperti yang dilakukan Ghazali. Ia piawai mengemas ajaran-ajaran Islam dengan bahasa Sunda bagi khalayak sasarannya yang utama, yaitu penduduk desa di Jawa Barat. Bahasa asli penduduk Jawa Barat adalah bahasa Sunda, yang dewasa ini digunakan oleh kurang lebih 27.000.000 orang (Julian Millie: 2008).
Bahasa Sunda termasuk bahasa lokal penduduk Indonesia yang sudah tua, namun bahasa Sunda menjadi salah satu bahasa yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (modernitas) seperti yang dilakukan oleh bahasa nasional Indonesia. Karena pada aktivitas sosial sehari-hari, masyarakat Sunda kontemporer lebih mengandalkan bahasa Indonesia. Maka, tidak heran jika beberapa ujaran dalam ceramah Ghazali, baik yang berbentuk rekaman kaset, apalagi dalam bentuk tulisan, seperti terhimpun dalam buku Agama Rakyat: Ceramah-ceramah A.F. Ghazali, banyak yang asing bagi generasi muda Sunda kontemporer.
“Verba volant, scripta manent”
Maret 2008 lalu sebuah buku unik berjudul The People`s Religion : The Sermons of A.F. Ghazali (Agama Rakyat: Ceramah-ceramah A.F. Ghazali) diluncurkan. Buku tersebut merupakan hasil transkripsi dari ceramah-ceramah sang dai yang selama ini terdokumentasikan dalam bentuk rekaman kaset. Dari puluhan tema ceramah yang terrekam dalam
kaset, buku yang ditulis Julian P. Millie –peneliti dari Monash University Australia– memilih empat tema sebagai topik yang ditulis, “Ayat-ayat Allah”, “Ngabageakeun Muharam”, “Tobat”, dan “Tugas Risalah”. Hasilnya adalah satu format buku bilingual, bahasa Sunda dan bahasa Inggris.
Buku ini boleh jadi yang pertama dalam jenisnya. Menuliskan ceramah dai kondang memang sudah banyak dilakukan. Namun, upaya tersebut biasanya dengan mengubah bahasa lisan (ceramah) menjadi bahasa tulisan. Konsekuensinya, banyak unsur dalam bahasa ujaran tersebut yang hilang karena harus tunduk pada aturan gramatika dan sense yang lazim dalam bahasa tulis. Nah, pada konteks ini, buku tersebut menjadi berbeda. Pasalnya, buku tersebut sepenuhnya menuliskan ceramah Ghazali dalam bentuk aslinya, yaitu bahasa lisan. Tujuannya, seperti diungkap penulisnya dalam pengantar buku tersebut bahwa format seperti itu untuk menangkap norma-norma kebudayaan dan keagamaan di lingkungan sosial tertentu, yakni masyarakat Sunda. Dengan tetap mempertahankan ungkapan aslinya, maka menuliskan ceramah dalam buku ini merupakan upaya untuk mempertahankan watak lisan dari ceramah tersebut.
Akan tetapi, cara seperti itu, mentranskrip bahasa lisan, memiliki kelemahan tersendiri. Hal demikian juga disadari oleh penulis buku ini. Maka, ketika ceramah itu menjadi tulisan, walhasil, ceramah-ceramah tersebut menjadi asing bagi pembaca. Konvensi dan kebudayaan yang diungkapkan oleh Ghazali boleh jadi terbilang baru bagi sejumlah orang. Namun, terlepas dari hal itu, bahasa lisan memiliki koherensi dan logika yang berbeda dari yang terdapat dalam tuturan tulisan. Dalam bahasa ujaran, gagasan-gagasan tidak selalu runtut betul dan dialog-dialog yang diciptakan oleh sang dai dengan khalayaknya tidak mudah diungkapkan dalam tulisan.
Tradisi lisan yang identik dengan masayarakat tradisional lebih banyak berbentuk dongeng, mitos, pantun, dan jampi-jampi yang diwariskan dan dikonservasi melalui ujaran dari satu generasi ke generasi penerusnya. Namun, sering kali tradisi tersebut punah di tengah pusaran zaman. Maka dengan itu, masyarakat tersebut tidak hanya kehilangan satu khazanah bahasa lisan, tetapi juga nilai dan episteme dari masyarakat penutur bahasa tersebut.
Ceramah bisa jadi merupakan metamorfosis tradisi lisan dalam masyarakat Sunda yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Terlebih, ceramah yang menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Sunda adalah suatu kekayaan budaya yang menjadi identitas masyarakat Sunda itu sendiri. Tradisi lisan merupakan cerminan identitas masyarakat atau golongan tempat mereka hidup. Tentu saja, khazanah tersebut tidak boleh hilang hanya karena sang penutur, sang dai, meninggal dunia.
K.H. A.F. Ghazali setelah wafat tahun 2001 mewariskan ceramahnya bagi jemaahnya di tatar Sunda. Saya dan jutaan warga Jawa Barat adalah pewaris aktif (active bearers) tradisi lisan Sunda. Saya sangat apresiatif kepada Julian P. Millie, penulis buku The People`s Religion: The Sermons of A.F. Ghazali. Karyanya akan mendokumentasikan dan menyelamatkan khazanah kebudayaan masyarakat Sunda dari senjakala kepunahan. Dengan menuliskan tradisi lisan tersebut, maka ceramah sebagai satu khazanah budaya diawetkan dan dilestarikan dalam bentuk tulisan, verba volant, scripta manent. (Dede Syarif, Peneliti dan Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung)***
Berikut salah satu video ceramah Almarhum KH AF Ghazali di Youtube:
Sumber: moeflich.wordpress.com
K.H. A.F. Ghazali sepertinya bukan nama yang asing bagi masyarakat Muslim Sunda, terutama kalangan pesantren dan masyarakat di desa-desa di tanah Pasundan ini. Namanya adalah jaminan untuk urusan ceramah (dakwah billisan). Pada setiap kesempatan ceramahnya, ia memilih bahasa Sunda sebagai medium menyampaikan pesan-pesan agama kepada audiensnya. Pilihan tersebut disadari betul dalam konteks dirinya sebagai manusia Sunda yang dibesarkan dalam rahim kebudayaan Sunda. Dan, bukankah para nabi juga menggunakan bahasa lokal atau ujaran kaumnya (billhughati qaumihim) dalam menyampaikan risalah kepada umatnya.
Strategi tersebut boleh jadi menginspirasi Ghazali untuk memilih bahasa Sunda sebagai pengantar dalam dakwahnya. Hasilnya, ceramah-ceramah yang disampaikan Ghazali tidak hanya menjadi tontonan di panggung dan momen pengajian, tetapi juga menjadi tuntunan yang menelisik lubuk terdalam kesadaraan para jemaahnya.
Tidak semua da’i memiliki keahlian berceramah yang memikat seperti Ghazali. Maka, dalam konteks tersebut, ceramah menjadi skill dan seni tersendiri yang tidak hanya bernilai profan (duniawi), tetapi juga berdimensi sakral (suci) bagi umat Islam. Ceramah, dalam konteks ajaran Islam tidak lain merupakan perwujudan titah Tuhan untuk amar makruf nahi mungkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Akan tetapi, untuk ibadah seperti itu, tidak semua orang Muslim mampu menjalankannya dengan halus, santun, bahkan jenaka seperti yang dilakukan Ghazali. Ia piawai mengemas ajaran-ajaran Islam dengan bahasa Sunda bagi khalayak sasarannya yang utama, yaitu penduduk desa di Jawa Barat. Bahasa asli penduduk Jawa Barat adalah bahasa Sunda, yang dewasa ini digunakan oleh kurang lebih 27.000.000 orang (Julian Millie: 2008).
Bahasa Sunda termasuk bahasa lokal penduduk Indonesia yang sudah tua, namun bahasa Sunda menjadi salah satu bahasa yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (modernitas) seperti yang dilakukan oleh bahasa nasional Indonesia. Karena pada aktivitas sosial sehari-hari, masyarakat Sunda kontemporer lebih mengandalkan bahasa Indonesia. Maka, tidak heran jika beberapa ujaran dalam ceramah Ghazali, baik yang berbentuk rekaman kaset, apalagi dalam bentuk tulisan, seperti terhimpun dalam buku Agama Rakyat: Ceramah-ceramah A.F. Ghazali, banyak yang asing bagi generasi muda Sunda kontemporer.
“Verba volant, scripta manent”
Maret 2008 lalu sebuah buku unik berjudul The People`s Religion : The Sermons of A.F. Ghazali (Agama Rakyat: Ceramah-ceramah A.F. Ghazali) diluncurkan. Buku tersebut merupakan hasil transkripsi dari ceramah-ceramah sang dai yang selama ini terdokumentasikan dalam bentuk rekaman kaset. Dari puluhan tema ceramah yang terrekam dalam
kaset, buku yang ditulis Julian P. Millie –peneliti dari Monash University Australia– memilih empat tema sebagai topik yang ditulis, “Ayat-ayat Allah”, “Ngabageakeun Muharam”, “Tobat”, dan “Tugas Risalah”. Hasilnya adalah satu format buku bilingual, bahasa Sunda dan bahasa Inggris.
Buku ini boleh jadi yang pertama dalam jenisnya. Menuliskan ceramah dai kondang memang sudah banyak dilakukan. Namun, upaya tersebut biasanya dengan mengubah bahasa lisan (ceramah) menjadi bahasa tulisan. Konsekuensinya, banyak unsur dalam bahasa ujaran tersebut yang hilang karena harus tunduk pada aturan gramatika dan sense yang lazim dalam bahasa tulis. Nah, pada konteks ini, buku tersebut menjadi berbeda. Pasalnya, buku tersebut sepenuhnya menuliskan ceramah Ghazali dalam bentuk aslinya, yaitu bahasa lisan. Tujuannya, seperti diungkap penulisnya dalam pengantar buku tersebut bahwa format seperti itu untuk menangkap norma-norma kebudayaan dan keagamaan di lingkungan sosial tertentu, yakni masyarakat Sunda. Dengan tetap mempertahankan ungkapan aslinya, maka menuliskan ceramah dalam buku ini merupakan upaya untuk mempertahankan watak lisan dari ceramah tersebut.
Akan tetapi, cara seperti itu, mentranskrip bahasa lisan, memiliki kelemahan tersendiri. Hal demikian juga disadari oleh penulis buku ini. Maka, ketika ceramah itu menjadi tulisan, walhasil, ceramah-ceramah tersebut menjadi asing bagi pembaca. Konvensi dan kebudayaan yang diungkapkan oleh Ghazali boleh jadi terbilang baru bagi sejumlah orang. Namun, terlepas dari hal itu, bahasa lisan memiliki koherensi dan logika yang berbeda dari yang terdapat dalam tuturan tulisan. Dalam bahasa ujaran, gagasan-gagasan tidak selalu runtut betul dan dialog-dialog yang diciptakan oleh sang dai dengan khalayaknya tidak mudah diungkapkan dalam tulisan.
Tradisi lisan yang identik dengan masayarakat tradisional lebih banyak berbentuk dongeng, mitos, pantun, dan jampi-jampi yang diwariskan dan dikonservasi melalui ujaran dari satu generasi ke generasi penerusnya. Namun, sering kali tradisi tersebut punah di tengah pusaran zaman. Maka dengan itu, masyarakat tersebut tidak hanya kehilangan satu khazanah bahasa lisan, tetapi juga nilai dan episteme dari masyarakat penutur bahasa tersebut.
Ceramah bisa jadi merupakan metamorfosis tradisi lisan dalam masyarakat Sunda yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Terlebih, ceramah yang menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Sunda adalah suatu kekayaan budaya yang menjadi identitas masyarakat Sunda itu sendiri. Tradisi lisan merupakan cerminan identitas masyarakat atau golongan tempat mereka hidup. Tentu saja, khazanah tersebut tidak boleh hilang hanya karena sang penutur, sang dai, meninggal dunia.
K.H. A.F. Ghazali setelah wafat tahun 2001 mewariskan ceramahnya bagi jemaahnya di tatar Sunda. Saya dan jutaan warga Jawa Barat adalah pewaris aktif (active bearers) tradisi lisan Sunda. Saya sangat apresiatif kepada Julian P. Millie, penulis buku The People`s Religion: The Sermons of A.F. Ghazali. Karyanya akan mendokumentasikan dan menyelamatkan khazanah kebudayaan masyarakat Sunda dari senjakala kepunahan. Dengan menuliskan tradisi lisan tersebut, maka ceramah sebagai satu khazanah budaya diawetkan dan dilestarikan dalam bentuk tulisan, verba volant, scripta manent. (Dede Syarif, Peneliti dan Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung)***
Berikut salah satu video ceramah Almarhum KH AF Ghazali di Youtube:
Sumber: moeflich.wordpress.com
Subscribe to:
Posts (Atom)