Peter Pan Syndrome vs Cinderella Complex dalam upaya pencegahan
perceraian dini, begitu tema seminarnya dengan Nara Sumber Bunda Elly Risman. Waktu pertama kali dengar saya
pikir ini kurang relevan untuk saya karena anak-anak masih kecil, belum
lagi remaja. Jangankan bicara cerai, bicara nikah aja belum terpikirkan.
Tapi
kemudian diajak Bunda Nina dan Bunda Riva pake mobil, wah ngga nolak
deh ada tumpangan, trims yaa. Eh ternyata materinya kompleks banget, dan
yang paling membuat surprise adalah semua berawal dari kasih sayang
orang tua dan over proteksi yang tidak pada tempatnya sejak dini,
sehingga membunuh kemandirian anak dan membuat rendahnya Adversity
Quotient (kemampuan untuk survive). Yang pada gilirannya akan mencetak
laki-laki dengan Peter Pan syndrome, yaitu yang tidak pernah dewasa.
Atau anak perempuan dengan cinderella complex yang mengharap ‘prince
charming’ datang untuk menyelamatkannya, karena tak mampu menghadapi
kesulitan hidup akibat terlalu dilindungi.
Pernahkah anda
menyuapkan makanan pada anak anda yang sudah SD karena kuatir dia sakit
jika tidak makan ? Atau pernahkah anda melihat anak SD berjalan
melenggang sementara Ibu/pengasuhnya membawakan tas mereka. Atau jika
anda ditelepon anak anda dari sekolah karena buku PRnya ketinggalan,
apakah anda akan tergopoh-hopoh datang ke sekolah untuk mengantarkannya,
alih-alih menyuruhnya pulang atau membiarkannya disetrap karena
kelalaian. Apakah anda membuka satu per satu buku anak untuk mencari
PRnya, kemudian mengoreksi PR dengan tangan anda bahkan menolong
membuatkan supaya nilainya bagus. Jika ketiga hal diatas terjadi pada
anda, maka waspadalah anda sedang menjerumuskan karakter diri anak anda.
Kasih sayang yang anda berikan akan merusak kemampuannya untuk survive
di masa depan.
Dalam makalah Bunda Elly Risman ciri-ciri anak dengan
Peter Pan Syndrome adalah mereka terbiasa hidup nyaman tanpa beban
tanggung jawab, tidak suka bekerja keras, kegiatannya banyak main-main,
tidak pernah punya tanggung jawab, tidak bisa mandiri/dewasa, tidak
berani mengambil keputusan dan menanggung resiko, kurang percaya diri,
enggan hidup sendiri karena mengalami ketergantungan pada orang lain.
Pada
anak-anak dengan pola asuh yang potensial menimbulkan Peter pan
syndrome biasanya cenderung : Suka menentang, pemberontak, susah punya
komitmen, pemarah (marah jika kemauannya tidak terpenuhi), tidak bisa
menerima kritikan, mudah sakit hati, terlalu cinta pada diri sendiri,
senang memanipulasi dan menolak hubungan dengan lawan jenis. Akibatnya
mereka punya masalah tidak tahan terhadap invasi kekuasaan dari
lingkungan, mereka tidak mampu berpikir tentang dirinya dan apalagi
menangani problem yang menimpa. Karena sejak kecil semua masalanya
diatasi bunda, ayah atau pengasuhnya.
Cinderella komplex biasanya
menimpa anak wanita yang selalu dilindungi atau yang hidupnya dalam
keadaan tertekan. Ia mengharap ada figur yang dapat menyelamatkannya di
setiap masalah yang dihadapi. Tanpa berusaha untuk berjuang dengan
mengerahkan segenap kemampuan.
Dengan pola asuh salah orang tua
potensial membentuk karakter laki-laki dengan ciri Peter Pan akibat
dimanja dan dibela setiap melakukan kesalahan, dilindungi dan dituruti
keinginannya. Sementara anak perempuan dengan ciri Cinderella tidak
dididik untuk menerima kenyataan hidup dan diberi banyak mimpi tentang
kisah happy ending tanpa tau bahwa happy ending adalah reward dari a
long and windeng journey of strugling.
Kedua karakter ini di masa
depan akan mengkontribusi dunia dengan generasi yang memiliki AQ
(Advertsity Quotient) yang sangat rendah.. Apabila keduanya bertemu dan
menikah besar kemungkinan perceraianlah yang terjadi atau never have
happy ending.
Karena mereka tidak memiliki cukup AQ untuk
mengupayakan kehidupan yang lebih baik. AQ adalah kecerdasan untuk
bertahan dan mengatasi setiap kesulitan hidup lewat perjuangan. Dengan
AQ ditentukan kadar kemampuan orang mengatasi kemelut tanpa menjadi
putus asa.
Akhir-akhir ini, setelah gencar ESQ ditingkatkan,
sebagai cara melejitkan prestasi anak di masa depan lewat potensi
spiritual. AQ muncul sebagai jawaban atas sedihnya hidup orang-orang
yang secara karier dan materi sukses, tapi tidak dapat meraih kebahagian
akibat rendahnya AQ. Terutama dalam mebina hubungan dalam rumah tangga.
AQ adalah indikator untuk melihat :
1. Kemampuan bertahan dalam setiap penderitaan dan tau cara mengatasi situasi yang membuat penderitaan.
2. Keterampilan untuk menerima dan menyelesaikan setiap tantangan.
3. Ilmu tentang ketabahan manusia (Human Resillience)
Perusahan maju mulai melihat indikator di atas sebagai patokan dalam merekrut karyawan baru. Selain IQ, EQ dan ESQ.
Untuk
memberikan gambaran AQ ini, Stoltz meminjam terminologi para pendaki
gunung. Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga jenis :
1.
Quitter (Mudahmenyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar
untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di
tengah jalan saat menerima tantangan.
2. Camper (Berkemah di
tengah perjalanan). Para camper lebih baik, karena biasanya mereka
berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko
yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah
cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya
sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters.
Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang
jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.
3. Climber (pendaki
yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala
keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka
mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan
banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik
kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Dalam konteks ini, para
climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan
antara para climber, camper, dan quitter . AQ ternyata bukan sekadar
anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan
latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk
meningkatkan level AQ-nya. Tetepi hasil terhebat akan diperoleh jika
kita mampu menginstal AQ ini dalam diri potra-putri kita.
Untuk
menghasilkan anak dengan ketangguhan seorang Climber yang memiliki AQ
tinggi, kita harus memperhatikan 9 aspek perkembangan : Fisik dan
kesehatan, daya tahan mental, kestabilan emosi, kemampuan sosial,
keimanan dan ibadah kepada Allah SWT, keterampilan dan seksualitas yang
normal.
So, Smart Parents mau dibawa ke mana pola asuh yang anda
terapkan di rumah sepenuhnya adalah hak anda. Tetapi untuk menjadikan
anak yang tangguh perlu banyak belajar, usaha dan sabar. Sebeum bicara
tentang AQ untuk anak kita, mari berkaca dan meyakini sudah sejauh mana
kita sendiri mengembangjan AQ diri kita, dan berusaha meningkatkannya.
Demikian semoga bermanfaat. Be Positive and Get Smarter Every Day..!!!
Oleh Bunda Arifah