Setelah sekian taun JIL (Jaringan Islam Liberal) mendeklarasikan keberadaanya --didirikan sekitar Maret 2001—kini, mulai nampak tanda-tanda keberhasilannya. Setidaknya, fenomena-fenomena baru yang sangat gamblang --yang semula nampak dengan ‘malu-malu’—kini sudah banyak dirasakan. Salah satu impact penting yang timbul dari lahirnya gudang pemikiran itu adalah lahirnya atmosfir ‘konyol’ yang oleh kebanyakan pengikutnya disebut dengan istilah “kekritisan berfikir”. Atmosfir baru sebagian kaum terpelajar muslim, kini, seakan-akan ada perubahan mendadak. Terutama cara mereka berfikir, berargumen.
Tiba-tiba mereka terlihat begitu semangat ‘mengkritisi’ Al-Qur’an, menolak beberapa nash hadits-hadish shahih, serta menuduh para ulama’ sebagai kelompok konserfatif. Anak-anak muslim ‘terpelajar’ itu juga terlihat sangat antusias berbicara, berdiskusi, mengadakan seminar, workshop, lokakarya untuk membahas tema-tema demokrasi, kebebasan berekspresi, skularisasi, pluralisme, dan kesetaraan gender. Mereka bahkan teramat sibuk bergelut dengan referensi-referensi liberal. Bacaan-bacaan wajib mereka, kini Tahrirul Mar’ah milik Qasim Amin, The Spirit of Islam-nya Amir Ali, serta Al Islam wa Ushul Al Hukmi yang sesungguhnya hanya jiplakan dari tulisan orientalis Inggris Thomas W. Arnold. Nama-nama semisal, Sayid Ahmad Khand, Arkeun, Ali Abdul Razik, Charles Kuzman, Fatimah Marnissi, Nasir Hamid Abu Zaid dan Fadzlurrahman seolah-olah “kitab suci” baru yang kini melekat di otak mereka. Di saat yang sama, mereka mulai tampak malas menelaah Al-Qur’an, bahkan boleh jadi mules (muak, red) jika mendengar dalil-dalil dari hadits. Yang jelas, mereka begitu percaya diri dengan identitas itu, dan begitu bangga disebut liberal.
Sebuah pertanyaan penting yang kerap ada dalam kepala orang adalah; “Apakah program-program JIL perpanjangan imperialisme barat? Apakah identitas Islam hanya kedok untuk meloloskan ideologi kapitalis?. Sudah barangtentu akan banyak dalih yang mereka kemukakan.
Sumber: Hidayatullah.com