Kalau boleh jujur, sebenarnya, ide-ide besar JIL dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan imperalisme Barat atas Dunia Islam, yang pada gilirannya, dicari-cari bemtuk pembenarannya dari khazanah Islam.
Kalau kita mengamati dengan seksama tentang agenda-agenda JIL, maka kita akan menemukan korelasi antara imperialisme barat dan agenda JIL. Luthfi Asy-Syaukanie, salah satu motor JIL pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya Islam Liberal. Pertama, agenda politik, Kedua, agenda toleransi agama, Ketiga, agenda emansipasi wanita, dan Keempat, agenda kebebasan berekpresi.
Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis.
Karena itu, sulit sekali-untuk untuk tidak mengatakan --minimal mustahil-- mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Islam Liberal: "Sejarah, Konsepsi dan Penyimpangannya", Adian Husaini dan Nuim Hidayat).
Selain itu, dari kerangka ideologi, ide-ide JIL sendiri, dapatlah kiranya dinyatakan sebagai ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak contekan sempurna terhadap ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain; (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme --pengalaman partikular Barat-- nampak begitu getolnya mereka melakukan penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (khilafah), dan penolakan yang begitu bersemangat terhadap syariat Islam. Tetapi mereka menerima begitu saja semua gagasan demokrasi tanpa ada nalar kritis. Istilahnya, mereka cepat-cepat ‘melek’ (terbelalak) jika mengkritisi Islam, tapi buru-buru buta (pura-pura tak melihat) jika sumber-sumber itu datangnya dari Barat.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam.
Kalau kita mengamati dengan seksama tentang agenda-agenda JIL, maka kita akan menemukan korelasi antara imperialisme barat dan agenda JIL. Luthfi Asy-Syaukanie, salah satu motor JIL pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya Islam Liberal. Pertama, agenda politik, Kedua, agenda toleransi agama, Ketiga, agenda emansipasi wanita, dan Keempat, agenda kebebasan berekpresi.
Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis.
Karena itu, sulit sekali-untuk untuk tidak mengatakan --minimal mustahil-- mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Islam Liberal: "Sejarah, Konsepsi dan Penyimpangannya", Adian Husaini dan Nuim Hidayat).
Selain itu, dari kerangka ideologi, ide-ide JIL sendiri, dapatlah kiranya dinyatakan sebagai ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak contekan sempurna terhadap ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain; (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme --pengalaman partikular Barat-- nampak begitu getolnya mereka melakukan penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (khilafah), dan penolakan yang begitu bersemangat terhadap syariat Islam. Tetapi mereka menerima begitu saja semua gagasan demokrasi tanpa ada nalar kritis. Istilahnya, mereka cepat-cepat ‘melek’ (terbelalak) jika mengkritisi Islam, tapi buru-buru buta (pura-pura tak melihat) jika sumber-sumber itu datangnya dari Barat.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam.
Sumber: Hidayatullah.com