Wednesday, December 18, 2019

Belajar Ilmu Kalam atau Filsafat Islam, Perlukah di Zaman Ini? (Bagian 1)

Secara sempit menurut saya, Ilmu Kalam adalah cara memahami Syariat dan Agama Islam berdasarkan kata-kata dan Pemikiran. Sedangkan Filsafat Islam adalah cara memahami Islam baik dari sisi aspek Ilmu, Syariat dan semua yang berkaitan dengannya dengan menggunakan nalar Akal dan Pikiran kita dengan merujuk kepada AlQur'an dan Hadits.
Sebenarnya dari pemahaman yang sempit tersebut mungkin bisa diambil kesimpulan, kenapa harus ada Ilmu Kalam dan Filsafat Islam? toh kan itu ujung-ujungnya merujuk pada AlQur'an dan Sunnah.
***
Tidak semua Umat Islam menerima pengajaran Islam terutama yang sedari kecil dilahirkan dari keluarga Muslim ketika beranjak Dewasa menerima pemahaman agama melalui doktrin berdasar dalil Naqli semata (berdasarkan Ayat Qur'an dan Hadits), ada kalanya sebagian Umat Islam butuh pemahaman yang melalui logika akal atau disebut Dalil Aqli. Apalagi di zaman sekarang dimana kita hidup di Tahun 2000-an Masehi, penggunaan logika untuk memahami Agama itu menjadi sangat penting karena berkembangnya Pemahaman Matrealistis yaitu pemahaman menyandarkan baik dan buruknya segala sesuatu berdasarkan materi, bukan pada pada Dalil Agama.


Dan dalam Pendidikan di jenjang Perguruan Tinggi Indonesia pun, Kurikulum yang saya ketahui  Mata Kuliahnya seperti di UIN atau IAIN, di semester awal belajar Mahasiswanya belajar Filsafat Umum (yang referesinya ke Barat) yang mana titik tekannya dari pengajaran yang ada Mahasiswa digiring melihat Syariat Agama harus bersikap objektif dan kritis, tidak boleh menganggap bahwa hanya ajaran satu Agama tertentu saja yang paling benar. Dan titik tekan pemahaman seperti ini bertentangan dengan pemahaman Aqidah Islamiyah yang mengajarkan bahwa Islam adalah Agama yang benar.

Berikut Tulisan Dr. Adian Husaini: Sejarah Perjalanan Liberalisasi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia

Menurut Dr. Adian Husaini, dalam bukunya yang berjudul Liberalisasi Islam di Indonesia, meninjau lebih dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia bahwa liberalisasi Islam telah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Namun secara sistematis dari dalam tubuh organisasi Islam, gerakan liberalisasi Islam bisa dikatakan bermula pada awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Nurcholis Madjid selaku Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PBHMI) ketika itu, menulis makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Pada makalahnya tersebut, Nurcholis Madjid menyatakan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Menurutnya, ada 3 proses yang harus dilakukan dalam hal pembaruan pemikiran Islam; yaitu ‘sekularisasi’, ‘kebebasan intelektual’, dan ‘gagasan mengenai kemajuan dan sikap terbuka’. Hal ini jelas bertentangan dengan pemikiran sekaligus aqidah Islam yang selalu mengaitkan segala sesuatunya dengan agama. Karena sebenarnya, manusia lahir atas dasar agama dimana dunia adalah jembatan sementara untuk menuju kehidupan yang abadi di akhirat sana.

Sudah sejak lama para orientalis mengkaji dan mempelajari dimana letak kelemahan agar bisa memasukkan paham liberalisme tersebut ke dalam ideologi warga Indonesia. Paham liberalisme mencoba menggerogoti dunia intelektual perguruan tinggi. Jika Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya menjadi pelopor liberalisasi dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution melakukan liberalisasi pemikiran Islam dalam tubuh intelektual perguruan tinggi. Tepatnya pada tahun 1973, Harun Nasution diangkat menjadi rektor keenam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dahulu bernama IAIN Ciputat. Jabatan yang dipegang memberikan kesempatan baginya untuk mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis demi melakukan perubahan dalam studi Islam. Hasilnya, perlahan beliau mulai mengubah kurikulum pendidikan tinggi. Pasalnya, hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Cimbuleuit, Bandung, Departemen Agama RI memutuskan buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Harun Nasution sendiri, dijadikan sebagai rujukan wajib mata kuliah Pengantar Agama Islam, yang juga sebagai mata kuliah komponen yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.

Hasil rapat tersebut menuai banyak kritik. Harun Nasution pun mengakui bahwa tidak semua yang hadir dalam rapat tersebut menyetujui hasilnya, bahkan sekalipun para dosen senior yang ikut pada acara tersebut. Lalu pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. H. M. Rasjidi selaku Menteri Agama pertama, menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama yang menjabat pada masa itu serta kepada beberapa eselon tertinggi di Departemen Agama. Laporan rahasia tersebut berisi kritik beliau terhadap buku IDBA, karangan Harun. Pasal demi pasal dijelaskan secara rinci, serta beliau menyatakan bahwa gamabaran Harun tentang Islam sangat berbahaya bagi para akademisi, khususnya umat Islam sendiri. Terlebih beliau sangat berharap kepada Kementerian Agama agar mengambil tindakan secepatnya terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku panduan wajib di seluruh IAIN di Indonesia pada masa itu.

Banyak sekali keganjalan yang terdapat pada buku karangan Harun Nasution tersebut. Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah pada buku tersebut seharusnya perlu banyak direvisi kembali. Sebagian dari argumen-argumen tersebut tidak berlandaskan dalil atau referensi yang dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Selain itu, kesalahan fatal terbukti ketika dalam bukunya Harun menyatakan bahwa pada dasarnya agama kedudukan Islam setara dengan agama-agama lainnya. Bahkan menurutnya, agama monoteis (baca: agama tauhid) ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama adalah satu rumpun, sedangkan Agama Hindu berada pada rumpun lainnya. Namun ia menambahkan bahwa kemurnian tauhid adalah milik Islam dan Yahudi, sedangkan Nasrani tidak diakui lagi kemurniannya disebabkan adanya paham Trinitas.

Laporan rahasia yang diajukan oleh Prof. H. M. Rasjidi ternyata tidak digubris selama satu tahun lebih. Akhirnya, Rasjidi mengambil inisiatif untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya dengan menerbitkan buku tentang kritikya terhadap buku milik Harun Nasution. Maka pada tahun 1977, terbitlah buku berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’. Namun ternyata, penerbitan buku ini tidak membawa perubahan banyak. Bahkan, kaum liberal merapatkan barisan mereka dengan argumen-argumen yang ditulis secara ilmiah atau dalam forum seminar yang membantu buku karya Harun Nasution tetap eksis dan bertahan selama kurang lebih 32 tahun.

Dan jika pengajaran antara Filsafat Barat yang menjunjung kebebasan akal dalam menelaah sesuatu dan pengajaran Aqidah Islamiyah yang cenderung berupa doktrin, maka tidak sedikit Umat Islam terjerembab kepada pemahaman bahwa penggunaan akal dalam beragama dengan konsep Filsafat Barat adalah lebih baik. Oleh karena itu, maka lahirlah faham Islam Liberal.
***
Tapi terkait Ilmu Kalam dan Filsafat Islam ini pun, Ulama terdahulu terutama di zaman Salafus Shaleh sangat hati-hati dan cenderung menjauhinya. Salah satu yang tegas sikapnya terkait Ilmu Kalam adalah Imam Madzhab Fiqih yang menjadi rujukan utama Umat Islam di Indonesia yaitu Imam Syafi'i, beliau berkata tentang Ilmu Kalam:
“Seandainya manusia mengetahui tentang apa yang ada di balik ilmu kalam, pasti mereka akan lari darinya sebagaimana mereka lari dari singa,”

Namun dalam perjalanannya, ketika Filsafat Barat berkembang dan diserap oleh Umat Islam pemahamannya maka lahirlah Pendapat Ulama yang berbicara terkait Ilmu Kalam dan Filsafat Islam. Karena ketika kita berbicara Syariat Agama kepada orang-orang yang hanya menggunakan Logika akal dan standar materi dalam menilai Syariat Agama maka menggunakan Filsafat Islam akan sangat berguna ketika kita terlibat diskusi dengan mereka.

Karena untuk pengguna akal dalam memahami Agama yang cenderung Liberalist dan Atheis, penggunaan Dalil Naqli (AlQur'an dan Hadits) tidak terlalu dianggap. Dan takutnya ketika kita sebagai Umat Islam tidak mempunyai nalar yang cukup baik untuk mengcounter gagasan mereka, maka bisa jadi kita yang akan terbawa ke dalam arus pemikiran Liberal.

Oleh Idrus Firmansyah (Bersambung)
Cuman Blogger yang suka baca Tulisan Ustadz Adian Husaini

Referensi:
1. Filsafat Ilmu : Islam vs Barat
2. Program Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam Indonesia: Suatu Kajian Awal Masuknya Pemikiran Modern Ala Barat
3. Sikap Tegas Imam Syafi’i terhadap Ahli Kalam