Sebenarnya ingin dari dulu membuat artikel ini karena sebagai orang yang awam dalam beragama, saya ingin tetap semangat berbagi kepada Muslimin yang semangat belajar agama terutama Jamaah Yutubiyah dan Facebukiyah. Pesan penting yang ingin saya sampaikan adalah: Semangat Ngaji tapi TAHU DIRI!!!
Contoh kongkrit kesalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam bersikap menghukumi perkara dalam Agama adalah: Ketika Kita menemukan Hadits Shahih Bukhari tentang Bid'ah maka langsung dipakai untuk menghakimi perbuatan seseorang karena dianggap tidak sesuai Sunnah Nabi.
Padahal jika seorang awam beragama, kemudian ketika menemukan Dalil Qur'an atau Hadits dan langsung disikapi digunakan untuk berfatwa kepada orang lain, maka itu adalah kesalahan fatal. Karena kapasitas seorang Muslim untuk bisa berpendapat, berdakwah serta berfatwa itu berbeda-beda. kita harus bisa mengukur diri sejauh mana kapasitas kita dan jikapun ingin berpendapat sendiri dan merujuk langsung kepada Qur'an dan Sunnah sendiri maka harus ditunjang oleh kemampuan yang mendalam terkait masalah agama.
Terkait bagaimana cara kita menentukan sebuah hukum dan perkara dalam Agama, yang saya fahami ada 2 jenis secara umum:
1. Menjadi seorang yang Taqlid (Yang melakukannya disebut Muqallid)
Taqlid artinya mengikuti pendapat seorang ulama tanpa mengetahui dalil kebenaran pendapat itu. Hal ini disyariatkan bagi kaum muslimin yang awam dalam masalah-masalah fiqih. Dalilnya antara lain:
a. Firman Allah: “… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An Nahl: 43)
Perintah Allah ini pada orang yang tidak mengetahui hukum agama untuk bertanya kepada ahludz dzikr, yaitu orang-orang yang mengetahuinya. Dan yang terendah dalam perintah ini adalah al ibahah/boleh. Kesimpulannya: diperbolehkan bagi orang awam untuk bertanya kepada ulama dan mengikuti pendapatnya.
b. Firman Allah: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa tidak mungkin seluruh kaum muslimin mempelajari fiqih, akan tetapi ada sekelompok orang yang fokus, kemudian mengajarkannya kepada saudara-saudaranya. Jika memungkinkan atau semua umat Islam disuruh mendalami fiqih dalam setiap masalah furu’iyah maka Allah tidak memberikan larangan di atas.
Realitas sahabat RA yang merupakan generasi terbaik, hanya terdapat sedikit fuqaha, dan mayoritas mereka meruju’ kepada para fuqaha yang minoritas itu untuk mendapatkan fatwa masalah-masalah agamanya. Menerima fatwanya tanpa menanyakan apa dalilnya, kecuali dalam kondisi tertentu.
Dan untuk bahasan terkait Taqlid pun ada tingkatannya, dari yang paling rendah Taqlid "all out" tanpa merasa perlu tahu terkait dalil yang menjadi rujukan Ulama dan Taqlid level advanced yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan cara mencari rujukan dalil yang digunakan Ulama yang kita jadikan sandaran untuk bertaqlid (Untuk tingkatan Taqlid ini insya Allah akan dibahas di Artikel yang lain).
2. Menjadi seorang yang mampu ber-Ijtihad (Yang melakukannya disebut Mujtahid)
Kata mujtahid dalam bahasa arab merupakan ism fa’il (subjek/pelaku) dari kata kerja ijtahada, sedangkan pekerjaannya disebut dengan ijtihad. Abu Hamid al-Ghazali (w. 505) dalam kitabnya al-Mustashfa menjelaskan bahwa:
عِبَارَةٌ عَنْ بَذْلِ الْمَجْهُودِ وَاسْتِفْرَاغِ الْوُسْعِ فِي فِعْلٍ مِنْ الْأَفْعَالِ، وَلَا يُسْتَعْمَلُ إلَّا فِيمَا فِيهِ كُلْفَةٌ وَجَهْدٌ، فَيُقَالُ: اجْتَهَدَ فِي حَمْلِ حَجَرِ الرَّحَا، وَلَا يُقَالُ: اجْتَهَدَ فِي حَمْلِ خَرْدَلَةٍ، لَكِنْ صَارَ اللَّفْظُ فِي عُرْفِ الْعُلَمَاءِ مَخْصُوصًا بِبَذْلِ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ. وَالِاجْتِهَادُ التَّامُّ أَنْ يَبْذُلَ الْوُسْعَ فِي الطَّلَبِ بِحَيْثُ يُحِسُّ مِنْ نَفْسِهِ بِالْعَجْزِ عَنْ مَزِيدِ طَلَبٍ
“Ijtihad itu adalah mengeluarkan segala kemampuan secara maksimal dalam melakukan suatu pekerjaan, sehingga kata ijtihad ini tidak bisa diperuntukkan untuk sebuah pekerjaan yang ringan. Dan istilah ijtihad ini pada akhirnya hanya dimaknai untuk seorang mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari dan mahamai ilmu syariat, sampai pada akhirnya dia merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang tersisa dari apa yang sudah dia lakukan”
Dari sini bisa disimpulkan bahwa mujtahid itu adalah manusia yang mukallaf yang dapat memahami perkara syariat secara langsung lewat sumbernya, mereka adalah adalah ulama yang yang isyaratnya sudah jauh hari Allah swt firmankan:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nahl: 43/ al-Anbiya’: 7)
Ada beberapa syarat yang diajukan oleh As-Syaukani untuk menjadi seorang mujtahid:
1. Menguasai teks al-Quran dan as-Sunnah, terutama teks-teks/hadits yang berkaitan dengan hukum syariat.
2. Memiliki pengetahuan tentang permasalahan ijma’, agar tidak berfatwa bertentangan dengan perkara yang sudah ada ijmanya.
3. Memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa arab
4. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ushul fiqih
5. Menguasai seputar permasalahan nasikh dan mansukh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah SWT kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
Jadi setelah saya membuat rangkuman terkait artikel ini ... kalau dipikir-pikir maka saya sendiri termasuk yang dikategorikan bertaqlid dalam beragama (Muqallid), karena untuk bisa ber-Ijtihad sendiri ternyata syarat-syaratnya sangat berat sekali. Namun karena dalam Taqlid pun ada tingkatannya maka saya mengajak semua Muslim yang tidak bisa menjadi ber-Ijtihad untuk senantiasa bersemangat belajar Agama dengan rajin ikut Taklim, Pengajian, Halaqah jeung sajabana agar tidak menjadi seorang yang Taqlid buta. Karena kalau sudah Taqlid buta rentan dengan fanatisme dan bisa menyebabkan "friksi" karena dalam beragama pun kita harus bijak dalam menyikapi perkara yang bersikap ikhtilaf (perbedaan yang bisa ditolerir dan bukan masalah pokok dalam agama seperti Aqidah)
Referensi:
1. Pengantar Ushul Fiqh
2. Pengantar Fiqih (bagian ke-4): Sejarah Perkembangan Fiqih Islam, Taqlid, dan Talfiq
3. Mujtahid dan Muqallid