Friday, September 01, 2017

Memahami Talfiq (Tidak mengikatkan diri pada 1 Madzhab) Secara Bijak

Hari ini Tanggal 10 Dzulhijjah 1438H bertepatan dengan 1 September 2017 di Indonesia Hari Raya Idul Adha yang berbarengan dengan Hari Jum'at, sebagai orang awam yang tidak pernah belajar Ilmu Syariah secara khusus baiknya kita memposisikan diri ... di level manakah kita  dalam menentukan keputusan tata cara beribadah dan bermuamalah?
Karena jika maen comot sana sini, tanpa tahu ketetapannya dan penempatan posisi kita yang gak pas sesuai keilmuan kita ... takutnya kita menjadi orang-orang yang menggampangkan urusan agama. Allahu A'lam Bishowab, CMIIW.
Berkaitan dengan itu, ada tulisan yang layak kita baca yang bersumber dari Al-khoirot, yang mungkin berguna terkait cara menentukan kebijakan dalam tata cara beribadah untuk orang awam (bukan orang yang mampu ber-Ijtihad).
*** **

Talfiq adalah tidak mengikatkan diri pada satu mazhab fiqih tertentu akan tetapi mengikuti pendapat dari berbagai mazhab fiqih baik dengan mengambil pendapat yang mudah saja atau yang berat saja dari berbagai mazhab tersebut.

Talfiq dalam istilah ulama ushul fiqih termasuk istilah yang baru muncul di kalangan ulama muta'akhirin (yang akhir) setelah empat mazhab fiqih menyebar luas dan menjadi pilihan di seluruh dunia. Di kalangan ulama yang awal (al-mutaqaddimin) yang serupa dengan istilah talfiq adalah tatabuk ar-rukhos (mengikuti kemudahan) yakni mencari dan mengambil pendapat fiqih yang termudah dalam setiap mazhab untuk tujuan bersenang-senang dan mencari keringanan dari beban hukum syariah dan melupakan tujuan utama syariah.

HUKUM TALFIQ ATAU PINDAH-PINDAH MAZHAB

Assalamu'alaikum Ustadz
Saya mau tanya:
1. Saya pernah mendengar boleh talfiq dalam dua qodiyah yang berbeda. Yang dimaksud dengan qodiyah berbeda itu apa?? Contohnya seperti apa??
2. Kalau masalah sholat mengikuti madzhab syafii, namun masalah air mengikuti madzhab maliki, apa boleh??
3. Boleh/tidaknya, apa alasannya??
4. Soalnya dalam lingkungan di sini apabila ittiba' terus madzhab syafii akan menyulitkan untuk Thoharoh.

Terimakasih ustadz....
Saya mohon pencerahan ilmunya..

JAWABAN

1. Yang dimaksud dua qodiyah yang berbeda adalah dua masalah hukum yang tidak saling terkait satu sama lain. Seperti shalat dan zakat. Misalnya, shalat ikut mazhab Syafi'i, sedang zakat ikut mazhab Hanafi.

2. Shalat ikut mazhab Syafi'i, lalu soal air ikut mazhab Maliki termasuk dalam kategori talfiq yang dalam satu qodiyah yang tidak dibolehkan karena keduanya saling terkait.

3. Karena suci dan najisnya status air sangat terkait dengan sah dan batalnya wudhu dan akan berakibat pada sah dan batalnya shalat.

Dalam masalah air suci dan najis antara mazhab Maliki dan Syafi'i terdapat perbedaan yang saling bertentangan sebagai berikut:

(a) Dalam mazhab Maliki, air kurang dua qullah (air sedikit) yang terkena najis tetap dianggap suci apabila tidak berubah, sedang di mazhab Syafi'i hukumnya najis baik berubah atau tidak.

(b) Dalam mazhab Maliki, air diam yang di dalamnya terdapat bangkai hewan darat dan ada darah yang mengalir hukumnya suci apabila air tidak berubah baik air sedikit atau banyak, sedangkan dalam mazhab Syafi'i hukumnya najis.

(c) Dalam mazhab Maliki, air sedikit (kurang dua qullah) yang terkena jilatan anjing tidak najis, sedang dalam mazhab Syafi'i hukumnya najis berat (mugholadzoh). (Lihat, Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Ali dalam Al-Talqin fil Fiqh Al-Maliki, 1/43; dan Al-Tanbih fil Fiqh Al-Syafi'i, 1/13).

4. Kalau masalah yang anda hadapi hanya masalah air, maka sebenarnya ada pendapat dalam mazhab Syafi'i sendiri yang cukup ringan dalam soal air ini. Anda dapat mengikuti pendapat tersebut tanpa harus pindah mazhab. Sayangnya anda tidak menyebutkan masalah air apa yang menimpa tempat anda berada.

PENDAPAT ULAMA TENTANG TALFIQ

PENDAPAT ZAINUDDIN AL-MALIBARI DALAM FATHUL MUIN

Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin, hlm. 4/232, menyatakan:

Guru kami berfatwa: Barangsiapa yang ikut seorang imam (mazhab) dalam satu masalah, maka ia wajib menjalankannya pada putusan mazhabnya dalam masalah tersebut dan seluruh hukum yang berkaitan dengannya.

Maksud dari keterangan di atas adalah orang yang shalat dengan cara mazhab Syafi'i, maka dalam masalah air untuk wudhu, masalah najis, dan penyebab sah dan batalnya wudhu harus mengikuti mazhab Syafi'i.

Jadi, dalam keadaan normal, hukum talfiq dalam satu masalah hukum yang terkait adalah tidak boleh. Seperti, air dan wudhu dalam mazhab Hanafi lalu shalat dengan mazhab Syafi'i. Dalam kitab Fathul Muin 4/ 359 dijelaskan:

Menurut Ibnu Ziyad dalam kitab Fatawanya: Talfiq yang dilarang itu adalah apabila terdapat dalam satu qodiyah (suatu hukum yang saling terkait). Contohnya, apabila berwudhu lalu menyentuh istrinya dengan ikut mazhab Abu Hanifah (menyentuh istri tidak batal secara mutlak baik syahwat atau tidak) lalu bermaksud taklid pada mazhab Syafi'i kemudian shalat, maka shalatnya batal karena kedua imam sepakat atas batalnya hal tersebut. Begitu juga apabila berwudhu dan menyentuh (istri) tanpa syahwat dengan ikut pendapat Maliki dan tidak menyentuh dengan tangan ikut mazhab Syafi'i lalu shalat, maka shalatnya batal karena sepakatnya kedua imam atas batalnya kesuciannya (dari hadas).

Namun, talfiq (ikut dua mazhab atau lebih) dalam dua masalah yang berbeda hukumnya boleh. Al-Malibari dalam Fathul Muin 4/ 359 menambahkan:

Berbeda halnya apabila talfiq dalam dua qodiyah yang berbeda. Itu tidak termasuk yang dilarang dalam taqlid. Misalnya seperti berwudhu lalu mengusap sebagian kepala (ikut mazhab Syafi'i) lalu shalat menghadap ke arah kiblat ikut mazhab Hanafi, maka shalatnya sah karena kedua imam (Hanafi dan Syafi'i) tidak sepakat atas batalnya kesuciannya (dari hadas).

Jadi, hukum asal talfiq antar mazhab adalah tidak boleh dilakukan dalam satu masalah (qodiyah) dan yang terkait. Namun, apabila berada dalam situasi yang sangat diperlukan dan mengharuskan demikian, maka hukumnya dibolehkan. Misalnya, seorang yang sedang tawaf harus dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar, itu artinya tidak boleh bersentuhan dengan wanita bukan mahram. Tapi karena sangat sulit untuk bersentuhan dengan pemuhrim wanita, maka bisa ikut mazhab lain seperti Hanafi, Maliki dan Hanbali yang mana sentuhan lelaki dan wanita tidak membatalkan wudhu.

PENDAPAT IBNU HAJAR AL-HAITAMI DALAM TUHFATUL MUHTAJ

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, hlm. 10/110-111, menyatakan:

Pendapat yang muktamad dalam soal ini adalah boleh taqlid dari tiap Imam Madzhab yang empat. Begitu juga boleh taqlid pada ulama selain mereka yang memelihara madzhabnya dalam soal tersebut sehingga diketahui syarat-syarat dan seluruh masalah yang dianggap (muktabar).

Keterangan selengkapnya dari Al-Haitami sebagai berikut:

PENDAPAT IBNU ABDIL BAR

Al-Sya'roni dalam Al-Mizan, hlm. 1/33 menyatakan:

Artinya: Ibnu Abdil Bar berkata: Para imam madzhab tidak pernah memerintahkan pada Sahabat (ulama madzhab) mereka untuk berpegangan pada madzhab tertentu dan menganggap tidak sah bersikap sebaliknya. Justru pendapat yang dikutip dari mereka adalah mereka menjelaskan pada manusia untuk saling mengamalkan fatwa sebagian dari ulama karena mereka semua mendapat petunjuk dari tuhan. Dan tidak ada hadis sahih atau dhaif yang menyatakan bahwa Rasulullah memerintahkan seseorang untuk berpegang teguh pada satu madzhab tertentu.

Sumber: www.alkhoirot.net